Jakarta Indeks harga pangan dunia di th. 2023 berakhir kurang lebih 10 persen di bawah tingkat di periode th. 2022, bersama nilai pada bulan Desember juga turun judi bola resmi dibandingkan bulan sebelumnya.
Penurunan ini mendukung meredakan keresahan pada inflasi harga pangan global.
Mengutip The Straits Times, Senin (8/1/2024) indeks harga Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), yang mencari komoditas pangan yang paling banyak diperdagangkan secara global, umumnya meraih 118,5 poin pada Desember 2023.
Angka tersebut menandai penurunan 1,5 persen berasal dari bulan November 2023 dan 10,1 persen di bawah level pada Desember 2022.
Pada th. 2023 secara keseluruhan, indeks tersebut umumnya berada pada angka 13,7 persen di bawah tingkat th. sebelumnya, dan hanya harga gula yang lebih tinggi pada periode tersebut.
Namun, indeks harga gula FAO turun 16,6 persen pada Desember 2023 dibandingkan bulan November.
“Hal ini khususnya didorong oleh tingginya laju mengolah di Brasil, serta berkurangnya pemakaian tebu untuk mengolah etanol di India”, kata FAO didalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, indeks harga sereal FAO naik 1,5 persen pada Desember 2023 dibandingkan bulan November, dikarenakan harga gandum, jagung, beras dan jelai seutuhnya naik di sedang terhambatnya pengiriman berasal dari negara-negara pengekspor utama.
Namun secara keseluruhan, harga sereal berada 15,4 persen di bawah umumnya th. 2022 dikarenakan pasar punyai pasokan yang baik, kalau beras.
Penurunan harga terbesar berjalan pada minyak nabati, bersama indeks harga merosot 1,4 persen pada Desember 2023 dibandingkan bulan November dan penurunan penting sebesar 32,7 persen untuk th. ini secara keseluruhan.
Adapun harga daging FAO yang juga turun 1 persen pada Desember dibandingkan bulan November 2023, dan turun 1,8 persen year-on-year, tetapi indeks harga harian bulan Desember naik 1,6 persen tapi turun 16,1 persen berasal dari th. sebelumnya.
Indonesia Hadapi Krisis Pangan, Masih Bisa Selamat?
Ekonom FEB Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibosono, menilai didalam hadapi krisis pangan, tidak ada cara lain kalau menaikkan mengolah didalam negeri diikuti manajemen stok pangan yang lebih efisien.
Tercatat mengolah beras th. 2022 adalah 31,5 juta ton. Untuk swasembada pangan, mengolah beras mestinya sekurang-kurangnya 35 juta ton per tahun.
Menurutnya, disisi lain ancaman terbesar disini adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani, peternak dan nelayan. Kebijakan pemerintah justru seringkali tidak berpihak, layaknya membuka impor pangan di sedang panen raya, dan terkini pergantian iklim makin sebabkan petani terpuruk.
“Dibutuhkan keberpihakan kebijakan yang kuat, merasa berasal dari kebijakan tata niaga yang kondusif bagi sektor pertanian, pemberian investasi pada infrastruktur pertanian, peternakan dan perikanan, serta reforma agraria dan aset,” kata Yusuf kepada Liputan6.com, dikutip Minggu (7/1/2024).
Selain itu, kebijakan yang dibutuhkan adalah diversifikasi pangan dan menumbuhkan budaya pangan lokal yang kini makin tergerus oleh trend pangan asing.
Pasokan BerasSelanjutnya, isu yang tak kalah kritis didalam antisipasi kekurangan pasokan beras waktu ini menurutnya adalah alih fungsi lahan sawah yang konsisten berjalan secara masif.
“Kita sudah punyai UU No. 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), tapi hingga kini alih fungsi lahan sawah tetap cenderung tidak terkendali, bahkan banyak disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN) layaknya pembangunan jalur tol Trans Jawa,” jelasnya.
Luas lahan baku sawah pada 2019 adalah 7,46 juta hektar. Namun, ia menduga kuat angka ini tersebut tidak valid waktu ini. Hal ini menyatakan mengapa mengolah beras didalam negeri cenderung konsisten melemah didalam 5 th. terakhir, berasal dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022.
Sentra Beras
Di 8 provinsi sentra beras yaitu Sumbar, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali dan NTB, luas lahan baku sawah (LBS) 2019 adalah 3,97 juta hektar. Namun pada 2021, hanya 3,84 juta hektar sawah saja di 8 provinsi tersebut yang mampu ditetapkan menjadi lahan sawah yang dilindungi (LSD).
“Dengan kata lain, 136 ribu hektar sawah di 8 provinsi sentra beras tersebut diduga kuat sudah mengalami konversi di selama 2019-2021,” katanya.
Melindungi lahan sawah yang tersisa, khususnya di Jawa, adalah kebijakan yang tidak mampu ditawar untuk ketahanan pangan di masa depan. Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, juga food estate, adalah kebijakan yang salah arah, mahal dan beresiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan kita.
“Mempertahankan sawah dan mendorong usaha pertanian berbasis keluarga (family farming) di Jawa adalah kritis untuk meyakinkan ketahanan pangan kami di masa depan, bukan bersama food estate yang mahal dan beresiko tinggi gagal,” pungkasnya.